Selepas shalat wajib, kita diperintahkan untuk memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan dzikir atau berpindah tempat. Di antara hikmahnya agar ibadah wajib terpisah dengan ibadah sunnah, atau agar keduanya tidak sama. Begitu pula dalam beberapa macam ibadah, sesuatu yang sunnah tidak boleh disamakan dengan yang wajib.
Ada kaedah fikih yang bermanfaat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaiminrahimahullah di mana beliau berkata,
الشارع لا يريد أن تلحق النوافل بالفرائض
“Syari’at tidak ingin ada penyamaan antara ibadah sunnah dan wajib.” (Syarhul Mumthi’, 4: 79).
Dalil Kaedah
1- Hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا توتروا بثلاث أوتروا بخمس أو بسبع ولا تشبهوا بصلاة المغرب
“Janganlah kalian melakukan shalat witir dengan tiga raka’at, atau lima raka’at atau tujuh raka’at, jangan serupakan dengan shalat Maghrib.” (HR. Ibnu Hibban no. 2429, Al Hakim dalam Mustadroknya no. 1138 dan Al Baihaqi dalam Sunan Kubro no. 4593. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).
Dalam Syarhul Mumthi’ (4: 79), Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa syari’at ingin agar ibadah sunnah tidak disamakan dengan ibadah wajib.”
2- Hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya, “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
“Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat.” (HR. Muslim no. 883).
Hikmah disyari’atkannya seperti itu disebutkan oleh Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin, “Hikmahnya adalah biar antara shalat wajib dan shalat sunnah terpisah. Jadinya, shalat sunnah itu sendiri dan shalat wajib juga sendiri, sehingga tidak bercampur. Demikian dikatakan oleh para ulama.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 5: 142). Hikmah ini pun disampaikan oleh Ash Shon’ani dalam Subulus Salam, 3: 148.
Penerapan Kaedah
1- Siapa yang shalat sunnah dengan dua kali tasyahud, itu dimakruhkan. Karena syari’at menginginkan agar shalat sunnah dan shalat wajib itu berbeda. Misalnya jika ada yang shalat sunnah qobliyah Zhuhur empat raka’at dengan dua kali tasyahud, maka ia telah menyamakan antara wajib dan sunnah. Lihat Syarhul Mumthi’, 4: 79.
2- Shalat witir bisa dilakukan dengan dua raka’at salam lalu satu raka’at salam. Boleh pula shalat tersebut dilakukan dengan tiga raka’at langsung salam. Cara yang kedua dilakukan dengan sekali tasyahud dan bukan dua kali tasyahud. Karena jika dijadikan dua kali tasyahud, maka miriplah dengan shalat maghrib. Padahal shalat sunnah tidak boleh diserupakan dengan shalat wajib. Lihat Syarhul Mumthi’, 4: 16.
3- Yang afdhol adalah seseorang memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah dengan perkataan atau berpindah tempat sehingga tidak bercampur antara shalat sunnah dan wajib.
4- Dimakruhkan terus menerus membaca surat As Sajdah dan Al Insan pada shalat shubuh di hari Jum’at. Karena orang awam akan mengira bacaan itu wajib kala itu. Dianjurkan di waktu lain, imam membaca surat yang lain pula sehingga tidaklah sama antara ibadah sunnah dan wajib.
5- Diharamkan berpuasa pada hari ‘ied dan pada hari yang meragukan agar bisa dibedakan antara puasa Ramadhan dan puasa lainnya. Karena dikhawatirkan ada tambahan selain puasa wajib yang tidak dituntunkan.
6- Hendaknya khotib tidak terus menerus merutinkan membaca ‘aquulu qouli hadza wa astaghfirullaha lii wa lakum wa likaafatil muslimin min kulli dzanbin fastaghfiruuhu innahu huwal ghofurur rohiim’ pada penutup khutbah pertama atau membaca ‘innallah ya’muru bil’adli wal ihsaan’ pada penutup khutbah kedua supaya orang awam tidak menyangka hal itu wajib. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 2: 466.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Hanya Allah yang memberi hidayah.
0 komentar:
Posting Komentar