Surga dan neraka adalah salah satu tema sentral yang dibahas dalam kajian-kajian agama. Mengapa? Ya tentu saja, sebab kehidupan di dunia membawa konsekuensi di akhirat. Konsekuensinya adalah surga dan neraka. Percaya atau tidak, kenyataannya tidak semua orang percaya akan adanya kehidupan di akhirat. Mereka yang percaya pun tidak semuanya memiliki keyakinan yang sama perihal kondisi kehidupan akhirat.
Masyarakat Yunani kuno, misalnya, memiliki kepercayaan yang unik tentang hidup setelah mati. Dalam pandangan mereka, manusia yang sudah mati akan hidup di ‘underworld’; semacam dunia di kedalaman bumi. Di sana, yang ada hanya keabadian. Ruh manusia hilir-mudik tak tentu arah, dan tentu saja, menderita. Dalam mitologi The Odyssey, tokoh utamanya sempat bertemu dengan Achilles, pahlawan dari Perang Troya. Saat itu, Achilles telah lama mati. Hidup sebagai pahlawan, tapi di akhirat ruhnya cuma hilir-mudik saja. “I would rather be a paid servant in a poor man’s house and be above ground than king of kings among the dead --- Aku lebih baik menjadi pembantu bayaran di rumah orang miskin dan berada di atas tanah daripada menjadi rajanya para raja di antara orang-orang mati.” (Achilles). Ternyata, kejayaan di dunia tidak ada gunanya di kehidupan akhirat. Itulah konsep akhirat versi Yunani kuno. Oleh karena itu, meski memiliki keyakinan agama, tapi pemikiran orang-orang Yunani terfokus pada kehidupan dunia. Sebab, kehidupan akhirat tak dapat mereka harapkan. Bisa dikatakan, dunia inilah satu-satunya harapan mereka.
Tentu tidak demikian halnya dengan keyakinan umat Muslim. Kita meyakini adanya surga dan neraka. Timbul pula sebuah pertanyaan: mengapa harus ada surga dan neraka? Bukankah Allah s.w.t itu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim? Salah satu hikmah dari keberadaan akhirat adalah munculnya kesadaran akan konsekuensi perbuatan. Jika akhirat diyakini tidak ada, demikian pula surga dan neraka tak ada, maka tak ada konsekuensi dari perbuatan di dunia. Akibatnya, agama jadi permainan saja. Orang yang mengaku beragama tapi tak percaya akhirat cuma bermain-main.
Dalam sejarah Yunani kuno, pernah ada sebuah negara-pulau kecil yang menolak tunduk pada perintah polis Athena yang adidaya. Dalam perundingan, juru bicara Athena hanya mengatakan bahwa yang kuat pasti menang, yang lemah menderita sebagaimana mestinya. Ketika yang lemah mengatakan bahwa mereka akan berdoa agar dewa-dewi mengambil tindakan, apa jawaban polis Athena? Ternyata, delegasi polis Athena tidak peduli. Sebab, dewa-dewi yang mereka mintakan tolong itu juga dewa-dewi yang sama yang mereka sembah. Menurut mereka, karena Athena lebih kaya, lebih banyak persembahannya, maka dewa-dewi pasti akan mendukung Athena. Itulah Yunani kuno dengan pemikiran absurdnya tentang Tuhan, kebenaran dan juga surga dan neraka. Mereka percaya akhirat, namun tidak menganggapnya penting sebab konsep surga dan nerakanya tidak jelas.
Sebaliknya, umat Muslim memiliki keyakinan yang jelas tentang surga dan neraka. Al-Qur’an dan Hadits Nabi s.a.w banyak membahasnya. Kita menahan diri dari perbuatan-perbuatan buruk karena ingat pada surga dan neraka. Manusia pasti ingin masuk surga, dan tidak ingin masuk neraka. Itu fitrah manusia. Tanpa surga dan neraka, manusia tidak akan memperhatikan perbuatannya. Mereka akan bertindak semaunya, meski mengaku beriman. Ada juga yang bilang, “Saya berbuat karena cinta pada Tuhan, bukan karena ingin surga, bukan pula karena takut neraka.” Kalimat semacam ini seolah ringan sekali diucapkan, padahal banyak ‘jebakannya’.
Pertama, adalah dusta kalau manusia mengatakan dirinya tak ingin surga. Kedua, dusta pula jika ada manusia yang tidak takut neraka. Jika ada manusia tak ingin surga, kemungkinan besar karena ia tak tahu apa itu surga. Demikian juga manusia yang tak takut neraka, kemungkinan besar karena ia tak tahu apa itu neraka. Bagaimana mungkin ada Muslim yang tak kenal surga dan neraka? Wah, mungkin karena dia jarang baca Al-Qur’an dan Hadits. Karena itu, orang yang bilang tak ingin surga dan tak takut neraka akan sangat tidak masuk akal jika mengaku cinta Tuhan.
Bagaimana mungkin mencintai Tuhan jika tak pernah membaca Kitab Suci-Nya? Jika rajin membaca Kitab Suci-Nya, pasti akan mengenal surga dan neraka. Ini konsekuensinya. Oleh karena itu, iman kepada Allah sering ‘dipaketkan’ dengan iman kepada kehidupan di akhirat. “Man kaana yu’minuuna billaahi wal yaumil aakhir, falyaqul khayran aw liyashmut,” itulah haditsnya. Tidak mungkin memisahkan keimanan pada Allah s.w.t dengan keimanan pada akhirat. Surga dan neraka termasuk dalam ‘paket’ akhirat itu. Iman kepada Allah s.w.t tidak hanya mengimani keberadaan-Nya, namun juga mengimani kekuasaan dan kehendak-Nya. Tidak mungkin mengaku beriman pada Allah s.w.t jika tidak mengimani otoritas-Nya di akhirat kelak. Tidak logis mengaku beriman pada Allah s.w.t tapi tidak ridha pada kehendak-Nya di dunia dan di akhirat.
Berbuat karena motivasi cinta kepada Allah s.w.t itu sangat baik, namun tidak menafikan pemahaman tentang surga dan neraka. Allah s.w.t menciptakan surga untuk membalas kebaikan hamba-hamba-Nya. Allah s.w.t menciptakan neraka untuk membalas keingkaran jin dan manusia. Pahala dihitung berlipat ganda, sedangkan dosa hanya sesuai kesalahannya. Bukankah Allah s.w.t Maha Pengasih? Dosa yang tidak mungkin diampuni hanya dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah. Bukankah sangat wajar? Sangatlah wajar jika orang yang mengingkari dan menyekutukan Allah disiksa di neraka. Setelah menikmati rahmat-Nya sekian lama di dunia, lantas masih ingkar juga? Bukankah wajar jika tempatnya di neraka?
Setelah meyakini surga dan neraka, tentu kita berusaha keras menjaga diri. Kita tidak mungkin meyakini diri akan masuk surga atau terhindar dari neraka. Itulah misterinya. Mengapa ada misteri? Tentu supaya kita tidak lepas-lepasnya menjaga diri.
Hidayah adalah rahasia Allah. Ada yang dibesarkan oleh keluarga kyai, begitu lihat dollar langsung menggadaikan aqidahnya. Ada juga yang terbenam dalam kejahilan, namun menjelang akhir hayatnya merengkuh khusnul khatimah.
0 komentar:
Posting Komentar